Link Artikel Favorit

Cara Mempromosikan Link Web - Klik disini

Metode Pemasaran Digital - Klik disini

 


 

diposkan pada : 21-10-2024 20:11:50 Ulama yang Menegur Penguasa secara Terbuka

Ulama yang Menegur Penguasa secara Terbuka

Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq

Dalam catatan sejarah, kita menemukan banyak riwayat dari para salaful ummah dan ulama setelahnya yang dengan tegas dan berani menasihati para penguasa di zamannya secara terbuka. Mereka memahami bahwa memberi nasihat tidak hanya bisa dilakukan secara diam-diam, tetapi juga secara terbuka ketika situasi menuntut hal tersebut.

Abdullah bin Abbas yang Mengkritik Kebijakan Ali

Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjadi khalifah, menjatuhkan hukuman bakar kepada beberapa orang murtad, Abdullah bin Abbas berkomentar bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan syariat. Ia mengingatkan bahwa hanya Allah yang berhak menyiksa dengan api. Ibn Abbas berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (yaitu dengan api).' Aku berpendapat bahwa sebaiknya mereka dibunuh sesuai dengan perintah Nabi ﷺ: 'Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.'"

Kisah Wanita Tua yang Mengkritik Umar

Sebuah kisah terkenal mencatat bahwa seorang wanita tua mengoreksi kebijakan Umar bin Khattab terkait pembatasan mahar. Ketika Umar berdiri di atas mimbar dan menyatakan bahwa mahar tidak boleh terlalu tinggi, wanita tersebut berdiri dan berkata:

"Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau tidak mendengar firman Allah: 'Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun...' (QS. An Nisa: 20)?"

Mendengar ucapan wanita tua itu, Umar bin Khattab pun meralat keputusannya dan berkata:

"Wanita tersebut benar, dan Umar lah yang salah."

Abu Muslim Menolak Keputusan Muawiyah

Abu Muslim Al-Khulani dengan berani menolak keputusan Muawiyah yang mengumumkan pemotongan jatah harta bagi beberapa kaum Muslimin. Ketika Muawiyah berdiri di atas mimbar, Abu Muslim berdiri dan berkata:

"Kami tidak akan mendengar dan taat, wahai Mu'awiyah!"

Muawiyah pun bertanya: "Mengapa, wahai Abu Muslim?" Abu Muslim menjawab dengan tegas:

"Wahai Mu'awiyah, harta ini bukan milikmu dan bukan pula milik orangtuamu. Mengapa kau memotong hak masyarakat?"

Imam Sa’id bin Musayib Menghadapi Hajjaj

Sebuah kisah masyhur menggambarkan Imam Sa’id bin Musayib yang berani menghadapi penguasa dzalim, Hajjaj bin Yusuf. Dikisahkan, pada suatu waktu, Hajjaj shalat berjama’ah di masjid dan berada di samping Sa’id. Namun, Hajjaj bangkit sebelum Imam dan sujud sebelum Imam sujud.

Setelah mengucap salam, Sa’id langsung memegang ujung selendang Hajjaj tanpa berkata apa-apa sambil merampungkan dzikir. Hajjaj berusaha melepaskan diri, tetapi Sa’id terus memegangnya. Setelah selesai berdzikir, Sa’id menghadapkan wajahnya kepada Hajjaj dan menghardiknya:

"Hai pencuri! Penghianat! Seperti inikah shalatmu?! Sungguh, aku ingin sekali menampar wajahmu dengan alas kakiku ini!"

Hajjaj, yang dikenal garang, hanya terdiam dan pergi.

Beberapa tahun kemudian, Hajjaj kembali ke Madinah dan menemukan Imam Sa’id sedang mengajar di masjid. Ia mendekati Sa’id dan bertanya:

"Engkau yang mengajar di majelis ini?"

Orang-orang melihat Hajjaj dan merasa ketakutan, tetapi Sa’id berdiri dan memukul dada Hajjaj sambil berkata:

"Iya, memang kenapa?"

Hajjaj kemudian mengakui:

"Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Guru dan Pengajar kebaikan. Tidaklah aku shalat setelah kejadian itu, melainkan aku selalu teringat dengan ucapanmu."

Imam Izz Abdu Salam Menegur Sultan

Ini adalah sebagian kisah dari banyak cerita mengenai keberanian al Imam Izz bin Abdussalam rahimahullah dalam beramar ma'ruf nahi munkar, terutama kepada penguasa. Dikisahkan, suatu ketika, sang imam masuk ke istana dan menjumpai Sultan Mesir dan para punggawanya yang sedang berpesta. Ia berkata kepada Sultan:

"Wahai Sultan, apa argumenmu di hadapan Allah ketika Dia bertanya: 'Bukankah Aku telah memberimu tanah Mesir, lalu mengapa kamu mengizinkan adanya khamr dan kemaksiatan?'"

Sultan bertanya heran, “Apa yang anda maksudkan?” Meskipun pesta tersebut tidak menyajikan khamr atau makanan haram, Imam Izz berkata:

"Turun dan lihatlah di kedai-kedai, engkau akan menemukan masih ada yang menjual khamr dan barang maksiat lainnya."

Mendengar itu, Sultan menjawab, “Oh, kalau itu bukan salahku. Sejak zaman ayah dan kakakku juga sudah demikian.”

Imam Izz menukas tegas:

"Apakah dirimu termasuk orang yang akan menjawab, 'Sungguh nenek moyang kami melakukan demikian, dan kami hanya mengikuti langkah mereka.' (QS. Az-Zukhruf 22)"

Sultan terdiam dan kemudian memerintahkan untuk menutup kedai-kedai yang menjual khamr di malam perayaan tersebut.

Seorang murid bertanya tentang rahasia keberanian Imam Izz:

"Wahai guru, engkau terkadang menasehati sultan saat ia berada di tengah-tengah pasukan tempurnya, apakah engkau tidak merasa takut?"

Imam Izz menjawab:

"Demi Allah, wahai anakku, ketika aku membayangkan kekuasaan Allah, maka sultan terlihat bagaikan anak kucing di hadapanku."

Kisah Imam Malik dengan Sultan Adz Dzahir

Ketika Sultan Adz Dzahir Baybars berangkat untuk memerangi Tatar di Syam, ia mengambil fatwa dari para ulama yang menyatakan bahwa boleh baginya mengambil harta dari rakyat untuk membantunya dalam memerangi musuh tersebut. Para ahli fikih Syam memberikan fatwa tersebut, kecuali Imam Malik yang menolak dengan tegas.

Ketika Sultan memanggilnya dan menanyakan alasannya, Imam Malik menjawab dengan tegas:

"Aku tahu bahwa dahulu engkau hanyalah seorang budak milik Amir Banduqdar dan tidak memiliki harta. Kemudian Allah memberimu anugerah dan menjadikanmu raja. Aku mendengar bahwa engkau memiliki seribu budak, setiap budak memiliki sabuk emas, dan dua ratus hamba wanita, setiap wanita memiliki perhiasan. Jika engkau telah menghabiskan semua itu, dan para budakmu tinggal mengenakan pakaian kasar, barulah aku akan memberi fatwa yang membolehkanmu mengambil harta dari rakyat jelata!"

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Menegur Gubernur

Ketika gubernur Yahya bin Sa'id membuat keputusan yang merugikan rakyat, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah berdiri dan mendebatnya:

"Engkau telah menyerahkan urusan kaum muslimin kepada orang yang paling dzalim, apa jawabanmu kelak di hadapan Tuhan semesta alam atas keputusan dzalimmu ini?"

Gubernur itu langsung gemetaran dan merubah keputusannya.

Penutup

Kisah-kisah di atas menunjukkan keberanian para ulama dalam menasihati dan menegur penguasa yang berbuat zalim. Mereka tidak hanya menasihati dengan cara diam-diam, tetapi juga dengan sikap tegas dalam mengingkari kedzaliman.

Wallahu a'lam.